AKHLAK TASAWUF
TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH
Dosen Pembimbing:
Drs. Mudjiono. M. Pd. I
Disusun oleh:
M.baihaqi(20101550016)
Jurusan:
Tarbiyah
Fakultas Agama Islam
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
BAB II
PEMBAHASAN
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas
penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di
antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga
Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar
ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya
mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut
nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”, w.
1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut
di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah.
Ciri
yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara
ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan
tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya
semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
B. Sejarah
Kebanyakan orang Naqsyabandiyah Mujaddidiyah
dalam dua abad ini menelusuri keturunan awal mereka melalui Ghulam Ali (Syekh
Abdullah Dihlavi [m. 1824]), karena pada awal abad ke-19 India adalah pusat
organisasi dan intelektual utama dari tarekat ini. Khanaqah (pondok) milik Ghulam Ali di Delhi menarik pengikut tidak
hanya dari seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia Tengah. Hingga
kini Khanaqah masih tetap (pernah mengalami masa tidak aktif akibat perampasan
Delhi oleh orang Inggris pada tahun 1857).
Namun fungsi Pan-Islami-nya
sebagian besar diwarisi oleh para wakil dan pengganti Ghulam Ali yang menetap
di tempat-tempat lain di Dunia Muslim. Yang terpenting adalah para syekh yang
tinggal di Makkah dan Madinah: kedua kota suci ini menyebarkan Tarekat
Naqsyabandiyah di banyak tanah Muslim sampai terjadinya penaklukan Hijaz oleh
kaum Wahabiyah pada 1925, yang mengakibatkan dilarangnya seluruh aktivitas
sufi. Demikianlah, Muhammad Jan Al-Makki (w. 1852), wakil Ghulam Ali di Makkah,
menerima banyak peziarah Turki dan Basykir, yang kemudian mendirikan
cabang-cabang baru Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Pengganti Ghulam Ali
yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi Sa’id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz
untuk menerima pengikut baru. Anak dan pengganti Abu Sa’id, Syekh Ahmad Sa’id,
memilih tinggal di Madinah setelah suatu peristiwa besar pada tahun 1857,
memindahkan arah Naqsyahbandiyah India ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad
Sa’id sama-sama memperoleh warisannya: dua orang pergi ke Mekkah dan menarik
pengikut dari India serta Turki di sana.
Sementara yang ketiga, Muhammad Mazhhar, tetap di Madinah dan
mengelola pengikut yang terdiri dari ulama dan pengikut dari India, Turki
Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang paling penting dari pengikut
Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad Salih al-Zawawi dan
murid-muridnya yang tidak merasakan kebencian, yang umumnya ditujukan kepada
Ulama Pribumi terhadap orang-orang non Arab dalam masyarakat mereka.
Sebagai guru fiqih Syafi’i, dia memiliki
akses khusus terhadap orang-orang Indonesia dan orang-orang Melayu yang
berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan murid-muridnyalah Naqsyabandiyah
dikenal secara serius di Asia Tenggara. Di
Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat berbagai jejak garis
Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini.
Dorongan yang membawa Naqsyabandiyah ke zaman modern berasal dari
pengganti Ghulam Ali yang lainnya. Maulana Khalid al-Bagdhadi (w. 1827). Beliau
mempunyai peranan yang penting di dalam perkembangan tarekat ini sehinga
keturunan dari para pengikutnya dikenal sebagai kaum Khalidiyah, dan dia
kadang-kadang dipandang sebagai “Pemburu” (Mujaddid) Islam pada abad ke-13,
sebagaimana Srihindi dipandang sebagai pemburu Milenium kedua. Khalidiyah tidak
terlalu berbeda dengan para leluhurnya Mujaddidiyah. Yang baru adalah usaha
Maulana Khalid untuk menciptakan tarekat yang terpusat dan disiplin, terfokus
pada dirinya pribadi, dengan cara ibadah yang disebut Rabithah (“petautan”)
atau konsentrasi pada citra Maulana Khalid sebelum berdzikir. Usaha ini
selanjutnya terkait dengan sikap politik, aktivitas, yang bertujuan untuk mengamankan
supremasi syari’at dalam masyarakat Muslim dan menolak agresi Eropa. Setelah
kematian Maulana Khalid, tidak ada kepemimpinan yang terpusat, tetapi sikap
politik yang mendasari upaya tersebut tetap hidup.
Lahir di Distrik Syahrazur di Kurdistan Selatan
pata 1776, Maulana Khalid melewatkan waktu sekitar satu tahun bersama Ghulam
Ali di Delhi sebelum kembali ke kampung halamannya pada 1881 dengan “wewenang
lengkap dan mutlak” sebagai wakilnya. Sebelum
meninggalkan Delhi, Maulana Khalid memberi tahu gurunya bahwa tujuan utamanya
adalah untuk “mencari dunia ini demi agama”, dari tiga tempat tinggalnya
setelah itu Sulaimaniyah, Bagdad dan Damaskus, beliau mendirikan jaringan 116
wakil, yang masing-masing dengan tanggung jawab yang jelas batas geografisnya.
Murid-muridnya mencakup tidak hanya anggota-anggota hierarki agama pemerintahan
“Utsmaniyah”, tetapi juga sejumlah gubernur provinsi dan tokoh militer yang
sangat penting dalam memajukan wibawa Khalidiyah adalah wakil kedua Maulana
Khalid di Istambul, Abdul al-Wahhab al-Susi, yang merekrut Makkizada Musthafa
Asim, syekh al-Islam masa itu ke dalam tarekat ini.
Usaha untuk meraih pengaruh atas kebijakan
Utsmaniyah yang disiratkan oleh berbagai upaya ini tidak pernah benar-benar
berhasil.Namun, terjadi semacam penyejajaran antara Khalidiyah dengan negara
Utsmaniyah pada masa pemeritahan Abdulhamid II, yang berteman dengan Khalidiyah
terkemuka di Istambul, Ahmed Ziyauddin Gumushanevi (w. 1893). Kepentingan Gumushanevi jauh mentransendenkan yang politis: tulisannya
yang dimiliki banyak mengenai sufisme pada umumnya dan Naqsyabandiyah pada
khususnya, mewakili puncak sastra sufi Utsmaniyah besar yang terakhir.
Sebaliknya, Adbulhamid sangat ditentang oleh Syekh Naqsyabandiyah yang menonjol
lainnya, Muhamad As’ad dari Ibril wilayah Irak Utara.
Pengaruh Maulana Khalid mungkin paling nampak di kampung
halamannya, Kurdistan. Cabang Naqsyabandiyah yang beliau perkenalkan di sana
sepenuhnya memudarkan pengaruh “Qadiriyah”, yang sebelumnya merupakan tarekat
paling menonjol di wilayah Kurdistan, dan memunculkan sejumlah keluarga sebagai
pemimpin turunan tarekat itu, serta memegang kepemimpinan dalam urusan negara
Kurdistan. Hubungan keturunan Naqsyabandiyah dengan separatisme Kurdistan, dan
kemudian nasionalisme, pertama kali terlihat dalam pemberontakan besar
Kurdistan 1880 yang dipimpim oleh Ubaidillah dari Syamdinan, yang berhasil
membebaskan diri, untuk sementara, sebagian besar orang Kurdistan Iran dari
kendali Iran. Keluarga Barzani juga mampu mendominasi ungkapan nasionalisme
Irak selama beberapa puluh tahun melalui wibawa Naqsabandiyah yang diwarisinya.
Khalidiyah juga mengakar dengan cepat dan
tepat di Daghestan, wilayah pegunungan yang terletak di pertemuan Kaukasus dan
Rusia Selatan.Wilayah ini pertama kali diperkenalkan dengan Naqsyabandiyah pada
akhir abad ke-18, tetapi kedatangan Khalidiyah yang membuat wilayah itu menjadi
daerah Naqsyabandi semasa hidup Maulana Khalid. Penekanan
ganda Khalidiyah di Daghestan adalah penggantian hukum-kebiasaan (cotumary law)
non Islam menjadi syari’at dan perlawanan terhadap pemerintah Rusia. Pemimpin
Naqsyabandiyah pertama untuk orang Daghestan adalah Ghazi Muhammad, yang
meninggal dibunuh oleh orang Rusia pada 1832, dan penggantinya dua tahun
kemudian mengalami nasib yang sama.
Sebaliknya Syamil, yang
kemudian mengambil kepemimpinan gerakan itu, mampu menahan Rusia hingga 159,
salah satu perlawanan Muslim terhadap imperialisme Eropa yang terlama dan
terkenal. Pengaruh Naqsyabandiyah di Daghestan ternyata sulit dicabut; kaum Naqsyabandiyah
aktif dalam pemberontakan 1877 oleh Daghestan dan Chechenia yang berjaya pada
rentang waktu antara runtuhnya tsar Rusia dan pembentukan pemerintahan
Soviet.Wilayah populasi Muslim lain yang diperintah oleh Rusia yang ternyata
menerima Khalidiyah adalah Volga-Ural (sekarang Tatarstan dan Baskira).
Wakil Maulana Khalid di Makkah, Abdullah
Makki (Erzincani), menerima seorang murid dari Kazan, Fatsullah Menavusi;
namun, yang pengaruhnya terbukti menentukan adalah pengikut Ghumushaveni asal
Basykar, Syekh Zainullah Rasulev dari Troisk. Semula
Rasulev adalah pengikut garis mujaddidiyah yang pergi ke Bukhara, kemudian
mengalihkan kesetiaanya kepada Gumushaveni setelah berkunjung ke Istambul pada
1870. Ketika kembali, dia mempropagandakan Khalidiyah sehingga membangkitkan
permusuhan dari para pesaingnya dan menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang
Rusia; hal ini mengakibatkan Rasulev dipenjara dan diasingkan. Kemudian bebas
lagi pada 1881 dia memperkukuh dan memperkuat pengikutnya sehingga ratusan murid
berada di bawah pengaruhnya; mereka tidak hanya tersebar diwilayah Volga-Ural,
tetapi juga di Kazakhstan dan Siberia. Tatkala kematian tiba pada 1917, dia
disebut sebagai “raja spiritual rakyatnya”, dan setelah kematiannya wibawa
Rasulev tetap terus bergaung sampai pada periode Soviet: tiga kepala Direktorat
Spiritual untuk kaum Muslim Rusia Eropa dan Siberia yang berfungsi di bawah
pengawasan Soviet adalah murid-murid Rasulev.
Akhirnya, Khalidiyah memastikan pula penanaman pengaruh
Naqsyabandiyah secara permanen di dunia Melayu Indonesia. Abdullah Makki
mempunyai murid dari Sumatera yaitu Ismail Minangkabawi. Setelah lama menetap
di Makkah, Minangkabawi menetap di Penyengat wilayah kepulauan Riau. Di sana,
ia memperoleh kesetiaan dari keluarga pemerintahan, yang sudah mulai
diperkenalkan pada Naqsyabandiyah oleh Duta-duta pemerintah yang dikirim dari
Madinah oleh Muhammad Mazhhar. Dia juga pergi ke Melayu hingga Kedah,
mempropagandakan Khalidiyah ke mana pun ia pergi. Namun usahanya merupakan
rintisan, dan digantikan oleh kegiatan dua Khalidiyah yang tinggal di Makkah
yaitu Khalil Hamdi Pasya dan Syekh Sulaiman Zuhdi.
Kenyataan bahwa kedua orang ini adalah
pesaing, saling menuduh bahwa yang lainnya adalah menyimpang dari prinsip
Naqsyabandiyah, menyiratkan betapa dunia Melayu Indonesia menjadi sumber
pengikut yang kaya untuk Naqsyabandiyah. Dalam
jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil dari pada pesaingya, hingga Jabal
Abi Qubais di Makkah, tempat dia tinggal, dipandang sebagai sumber seluruh
Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara.
Di antara murid ini banyak
yang mendirikan Khalidiyah di berbagai tempat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi,
yang paling penting adalah Abdil Wahab Rokan (w. 1926). Beliau dikirim dari
Makkah pada tahun 1868 dengan misi untuk menyebarkan Khalidiyah di seluruh
Sumatera, dari Aceh sampai Palembang — misi yang beliau dilaksanakan dengan
sukses besar adalah dari pesantrennya di Bab Al-Salam, Lengkat-Tinggal menetap
selama tiga tahun di Johor, dan memungkinkan dia untuk memperluas pengaruhnya
lebih jauh ke Semenanjung Malaya.
Praktik Naqsyabandiyah di Dunia Melayu
Indonesia sejak dini sangat berbeda dengan adanya ritual yang disebut dengan
suluk, yakni menyendiri dengan jangka waktu yang berbeda-beda dan sebagian
diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini sangat
berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya hubungan
dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin menambah ciri
khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia.
C. Peran Politik
Tidak semua perkembangan formatik yang berkenaan dengan
Naqsyabandiyah berkaitan dengan Ghulam Ali Dihlavi dan keturunannya. Salah satu
keturunan dari Ahmad Sirhindi didirikan di Syur Bazar di pinggiran Kabul pada
pertengahan abad ke-19, dan para anggota cabang ini memainkan peranan penting
dalam urusan negara Afghanistan hingga pembentukan negara pasca Komunis pertama
pada tahun 1991. Di tempat lain di Asia Tengah, Naqsyabandiyah dari berbagai
keturunan menonjol dalam perlawanannya terhapap Rusia dan sesudahnya. Dengan
demikian pertahanan Goktepe oleh para Turkmen Akhel-Tekke diarahkan oleh
seorang pengikut Naqysabandiyah, yaitu Muhammad Ali Ihsan (Dukchi Ikhsan).
Naqsyabandiyah juga
memimpin pemberontakan melawan pemerintah Cina di Xinjing pada tahun 1863 dan
1864 dan di Shannxi serta Gunsu antara 1862 dan 1873.
Ciri khas yang ditunjukan oleh kelompok Naqyabandiyah ini sering
digambarkan dalam negara modern, terutama di Turki. Namun, di Turkli perlawanan
Naqsyabandiyah terhadap sekulerisme selalu bersifat pasif (kecuali
pemberontakan Sa’id). Penggambaran peristiwa Menemen 1931 sebagai konspirasi
Naqsyabandiyah yang menyebabkan Syekh Muhammad As’ad (Mehmed Esad) dihukum mati
secara adil, sekarang diragukan.
Sejumlah pemimpin Naqsyabandiyah menjadi orang penting sebagai
guru spiritual dan intelektual: Mahmud Sami Ramazanoglu (w. 1984), pengganti
Syekh Muhammad As’ad. Mehmed Zahid Kotku (w.1980), keturunan spiritual dari
Gumushanevi bersama penggantinya Esad Gosan (sampai sekarang masih hidup) dan
Resit Erol (w. 1994). Kegiatan mengajar para syekh ini beserta syekh lainnya
secara alamiah memiliki pengaruh politik, namun cenderung mengarah pada
pengintegrasian Naqsyabandiyah ke dalam struktur Republik Turki, dan bukan
penolakan terhadap struktur tersebut. Penting dicatat bahwa beberapa pemimpin
Naqsyabandiyah hadir secara menonjol di pemakaman Presiden Turki, Turgut Ozal
pada 1993.
Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya,
tidak dapat digambarkan secara seragam dalam Dunia Islam sekarang ini.
Pengaruh
mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling
lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh
Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan “Islam bawah tahan” di Kaukasus Asia
Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan
Naqsyabandiyah di permukaan.
D. Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah
Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun
mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual
tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri
atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah
thariqah, “jalan” atau “marga”. Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu
kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan “jalan” tadi.
Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam
rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi
tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara
Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya.
Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda
telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta
para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan
memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai
pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam
pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.
E. Asas-asas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan
dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya
adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu
per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para
penganut Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’
al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah
haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi,
yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura
dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini
sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari
Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal
dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan
penganut Naqsyabandiyah India).
F.
Asas-asasnya ‘Abd
al-Khaliq adalah:
- Hush dar dam: “sadar sewaktu
bernafas”. Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah
sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti
sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan
Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada
Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa
orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
- Nazar bar qadam: “menjaga langkah”.
Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu
duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan
(ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak
relevan.
- Safar dar watan: “melakukan
perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni
meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju
kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan
penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk
mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan
dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
- Khalwat dar anjuman: “sepi di
tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran,
beberapa dekat pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama
Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat
berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai
“menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan
hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yang
lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam
kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap
terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum
Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin
dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
- Yad kard: “ingat”, “menyebut”.
Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la
ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru
seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut
Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun
sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati
bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
- Baz gasyt: “kembali”, ”
memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal
yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid
atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas,
formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah
tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan
dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati
seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
- Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu
menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir
tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari
kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku
seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip
seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku
menjagaku selama dua puluh tahun.”
- Yad dasyt: “mengingat kembali”.
Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang
berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya
berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke
tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan
jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
G. Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:
- Wuquf-i zamani: “memeriksa
penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana seseorang
menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap
dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan
tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah
berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa
atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
- Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan
dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi
kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu
diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
- Wuquf-I qalbi: “menjaga hati tetap
terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara
batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak
sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian
seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din
menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di
atasnya.
H. Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti
kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama
Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang
lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan
dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam
(khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir
keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan
dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada
kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun
sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir
secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh
cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan
dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali
seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan
tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya
biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah dzikir ism al-dzat,
“mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”. Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang
dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian
kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa
itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat
la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui
tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke
ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ,
kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke
jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat
tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara,
memusnahkan segala kotoran.
Variasi lain yang diamalkan oleh para
pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan
nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik
halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha’if), adalah qalb
(hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa),
selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari
di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas
puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada; dan
nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama.
Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak
merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan
lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep
latha’if — dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya — bukanlah khas
Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik.
Jumlah latha’if dan nama-namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu
disusun berdasarkan kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual.
Ternyata latha’if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga.
Memang, titik-titik itu letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam
psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.
Asal-usul ketiga macam dzikir ini sukar untuk
ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan asas-asas yang diletakkan
oleh ‘Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah diamalkan sejak pada
zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan
dzikir latha’if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan dengan
nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah
sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah
sebetulnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad
Sirhindi.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia:
wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa
pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad,
dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan
dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan
mendatangkan manfaat.
Seorang murid dapat saja diberikan wirid
khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan secara rahasia
(diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang
dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik.
Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum
Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad
yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai
Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak
memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.
Tumbuhnya tarekat dalam Islam
sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama Islam itu sendiri, yaitu sejak
Nabi Muhammad saw diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi
Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan
tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk mengasingkan diri dari
masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahhanust
dan Khalwat nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam
menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut.
Proses khalwat nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut
sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari
situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai
kepada Syeikh Abdul Qodir Jaelani, sehingga tarekatnya dinamai Qodiriyah.
Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Ali dan Abdul
Qadir Jaelani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad saw, dari Malaikat
Jibril dan dari Allah Swt.
Tarekat
Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang
bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost
al-Jaelani. Lahir di di Jilan tahun 470 H/1077 M dan
wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan
Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di
Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang
menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar
sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535
H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar
dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat
luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai
pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai
tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di
Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu
tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M),
diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul
Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad
pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus
berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang
tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah
berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15
M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga
mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631
M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah
sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes.
Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai
suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak
melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti
tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,”Bahwa murid yang sudah
mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah
yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Mungkin karena keluwesannya tersebut,
sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qidiriyah di dunia
Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517),
Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah
(1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah,
Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nabulsiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman
ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768
H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah,
Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa
diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani. Jilala dimasukkan dari
Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum
kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut
“Syurafa Jilala”.
Dari
ketaudanan nabi dan sabahat Ali ra dalam mendekatkan diri kepada Allah swt
tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qodiriyah menurut ulama
sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk
mendekat dan mendapat ridho dari Allah swt. Oleh sebab itu dengan tarekat
manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan
terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus
ditinggalkannya.
Misalnya
dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara
nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir
dari Syiekh Abdul Qadir Jaelani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga
disebut tarekat Qodiriyah. Selain itu dalam setiap
selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan
Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih , lalu membaca
salawat tiga kali, Laailaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali.
Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada
kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari
perut sampai ke otak.
Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari
arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh
konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya
Allah swt-lah tempat manusia kembali. Sehingga
akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku
yang tercela.
Menurut
ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu’tabarah tersebut,
setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan
karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai
ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab, ahli syiddatil haya’ sahabat
Usman bin Affan, ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah dan Khalid bin Walid,
ahli falak Zaid al-Farisi, ahli syiir Hasan bin Tsabit, ahli lagu Alquran
sahabat Abdillah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab, ahli hadis Abi Hurairah, ahli
adzan sahabat Bilal dan Ibni Ummi Maktum, ahli mencatat wahyu dari Nabi
Muhammad saw adalah sahabat Zaid bin Tsabit, ahli zuhud Abi Dzarr, ahli fiqh
Mu’ad bin Jabal, ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi, ahli
berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf dan sebagainya.
J.
Bai’at
Untuk mengamalkan tarekat tersebut melalui tahapan-tahan seperti
Pertama:
adanya pertemuan guru
(syeikh) dan murid, murid mengerjakan salat dua rakaat (sunnah muthalaq) lebih
dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi
Muhammad saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan
istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laailaha Illa Allah, dan guru
mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS
Al-Fath 10). Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illallah)
sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap
selesai. Kemudian guru berwasiat, membaiat sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua:
tahap perjalanan. Tahapan kedua ini
memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima
hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya,
menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih
dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang
diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah
berarti “jalan” sama seperti syariah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan
menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati
ajaran-ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam
Alquran, seperti QS Al-Jin:16,” Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas
thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan
sejati) yang melimpah ruah”.
Istilah
thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik
perkataan itu, semua yang terjadi pada syariah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathini mengandung segi-segi eksklusif.
Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut
misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot kerohaniannya
berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat
itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya
harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya.
Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah saw, sahabat, ulama
sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
K. Qodiriyah di Indonesia
Seperti halnya tarekat di Timur Tengah.
Sejarah tarekat Qodiriyah di Indonesia juga berasal dari Makkah al-Musyarrafah.
Tarekat Qodiriyah menyebar ke Indonesia pada abad ke-16, khususnya di seluruh
Jawa, seperti di Pesantren Pegentongan Bogor Jawa Barat, Suryalaya Tasikmalaya
Jawa Barat, Mranggen Jawa Tengah, Rejoso Jombang Jawa Timur dan Pesantren
Tebuireng Jombang Jawa Timur. Syeikh Abdul Karim dari Banten adalah murid
kesayangan Syeikh Khatib Sambas yang bermukim di Makkah, merupakan ulama paling
berjasa dalam penyebaran tarekat Qodiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal
dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar Tarekat
Qodiriyah tersebut.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat
pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana
diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya “Mystical Dimensions of Islam”
hal.236 yang menyebutkan bahwa tarekat bisa digalang untuk menyusun kekuatan
untuk menandingi kekuatan lain. Juga di Indonesia, pada Juli 1888, wilayah
Anyer di Banten Jawa Barat dilanda pemberontakan. Pemberontakan petani yang
seringkali disertai harapan yang mesianistik, memang sudah biasa terjadi di
Jawa, terutama dalam abad ke-19 dan Banten merupakan salah satu daerah yang
sering berontak.
Tapi, pemberontakan kali ini benar-benar
mengguncang Belanda, karena pemberontakan itu dipimpin oleh para ulama dan
kiai. Dari hasil penyelidikan (Belanda, Martin van Bruneissen) menunjukkan
mereka itu pengikut tarekat Qodiriyah, Syeikh Abdul Karim bersama khalifahnya
yaitu KH Marzuki, adalah pemimpin pemberontakan tersebut hingga Belanda
kewalahan. Pada tahun 1891 pemberontakan yang sama terjadi di Praya, Lombok
Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan pada tahun 1903 KH Khasan Mukmin dari
Sidoarjo Jatim serta KH Khasan Tafsir dari Krapyak Yogyakarta, juga melakukan
pemberontakan yang sama.
Sementara
itu organisasi agama yang tidak bisa dilepaskan dari tarekat Qodiriyah adalah
organisasi tebrbesar Islam Nahdlaltul Ulama (NU) yang berdiri di Surabaya pada
tahun 1926. Bahkan tarekat yang dikenal sebagai
Qadariyah Naqsabandiyah sudah menjadi organisasi resmi di Indonesia.
Juga pada organisasi Islam Al-Washliyah
dan lain-lainnya. Dalam kitab Miftahus Shudur yang ditulis KH Ahmad
Shohibulwafa Tadjul Arifin (Mbah Anom) di Pimpinan Pesantren Suryalaya,
Tasikmalaya Jabar dalam silsilah tarekatnya menempati urutan ke-37, sampai
merujuk pada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali ra, Abdul Qadir Jilani dan Syeikh
Khatib Sambas ke-34.
Sama halnya dengan silsilah tarekat
almrhum KH Mustain Romli, Pengasuh Pesantren Rejoso Jombang Jatim, yang
menduduki urutan ke-41 dan Khatib Sambas ke-35. Bahwa beliau mendapat talqin
dan baiat dari KH Moh Kholil Rejoso Jombang, KH Moh Kholil dari Syeikh Khatib
Sambas ibn Abdul Ghaffar yang alim dan arifillah (telah mempunyai ma’rifat
kepada Allah) yang berdiam di Makkah di Kampung Suqul Lail.
L. Silsilahnya.
1. M Mustain Romli, 2, Usman Ishaq, 3. Moh Romli Tamim, 4. Moh Kholil, 5. Ahmad
Hasbullah ibn Muhammad Madura, 6. Abdul Karim, 7. Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul
Gaffar, 8. Syamsuddin, 9. Moh. Murod, 10. Abdul Fattah, 11. Kamaluddin, 12.
Usman, 13. Abdurrahim, 14. Abu Bakar, 15. Yahya, 16. Hisyamuddin, 17.
Waliyuddin, 18. Nuruddin, 19. Zainuddin, 20. Syarafuddin, 21. Syamsuddin, 22.
Moh Hattak, 23. Syeikh Abdul Qadir Jilani, 24. Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi,
25. Abu Hasan Ali al-Hakkari, 26. Abul Faraj al-Thusi, 27. Abdul Wahid
al-Tamimi, 28. Abu Bakar Dulafi al-Syibli, 29. Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi,
30. Sari al-Saqathi, 31. Ma’ruf al-Karkhi, 32. Abul Hasan Ali ibn Musa
al-Ridho, 33. Musa al-Kadzim, 34. Ja’far Shodiq, 35. Muhammad al-Baqir, 36.
Imam Zainul Abidin, 37. Sayyidina Husein, 38. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, 39.
Sayyidina Nabi Muhammad saw, 40. Sayyiduna Jibril dan 41. Allah Swt. Masalah
silsilah tersebut memang berbeda satu sama lain, karena ada yang disebut
seecara keseluruhan dan sebaliknya. Di samping berbeda pula guru di antara para
kiai itu sendiri.